MEMAKNAI DISKRIMINASI TOKOH UTAMA YANG BERNAMA MONA
DALAM CERPEN PEREMPUAN PENGAMBIL HATI
KUMPULAN CERPEN PEREMPUAN
BERCAHAYA KARYA RINA RATIH
KAJIAN FEMINISME
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kritik Sastra Mahasiswa
Semester Lima
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.
Oleh:
Rachma Nurjanah
09003056
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum w.
w.
Dengan
memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini.
Makalah
ini tersusun dengan judul “Memaknai Diskriminasi Tokoh Utama Perempuan Pengambil Hati dalam Kumpulan
Cerpen Perempuan Bercahaya Karya Rina
Ratih Kajian Feminisme”. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas semester ganjil
mata kuliah kritik sastra
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Ahmad Dahlan serta sebagai media untuk mengimpletasikan
apa yang penulis peroleh selama di bangku kuliah.
Meskipun
makalah ini disusun dengan segala kemampuan yang ada, namun demikian penulis
menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dan masih jauh dari
sempurna. Hal ini disebabkan karena kemampuan dan terbatasnya pengetahuan dari
penulis, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
diharapkan penulis dari semua pihak demi kebaikan makalah ini.
Dalam
penyusunan makalah ini, tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dan
pengarahan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Disamping itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada bapak dan ibu yang
telah memberikan dukungan serta
motifasinya.
Semoga
Allah swt.,
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan balasan amal
baik yang telah mereka berikan dan kita selalu dalam lindungan-Nya.
Semoga
penyusuanan makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, terima kasih. Amin.
Wassalamu’alaikum w. w.
Yogyakarta, 12 Desember 2011
Penyusun
Daftar isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Landasan Teori
F. Pembahasan
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
A. Latar
Belakang Masalah
Karya
sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia
melalui energi kata-kata. Melalui
kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar
dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan,
untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih
bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya
lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005 : 16)
Cerpen merupak salah satu bentuk dari ekspresi karya sastra yang mampu
membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi dan memberi pandangan lain
terhadap kehidupan di masyarakat. Karya sastra senantiasa menarik untuk dikaji,
terlebih lagi cerpen. Cerpen adalah kepanjangan dari cerita pendek. Untuk
mengetahui isinya, pembaca tidak perlu membutuhkan waktu yang lama karenan isi
dan alur atau konflik dalam cerpen cukup sederhana. Kesederhanaan cerpen
menjadikan ketertarikan sendiri pada pembaca. Namun, apakah hanya sebatas
tertarik dan senang pada isi cerpen saja?
Kesenangan
yang diperoleh melalui pembacaan
karya sastra bukanlah kesenangan ragawi, melainkan kesenangan yang ebih tinggi, yaitu kesenangan
kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedangkan manfaatnya adalah keseriusan yang
menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan
persepsi. Selain itu sastra juga memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan
emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan
diri dari emosi itu, sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren, 1990 : 34-35). Jadi, sastra berfungsi untuk
meningkatkan kehidupan. Fungsi yang sama juga diemban
oleh kebudayaan.
Yang
dimaksud dengan kebudayaan menurut Marvin Haris adalah
seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah
laku (Ratna, 2005 : 5).
Dari definisi tersebut terlihat bahwa
kebudayaan mengkaji aktivitas manusia, sebuah wilayah kajian yang juga dimiliki oleh sastra. Karya sastra dibangun atas dasar rekaan, dienergisasikan oleh
imajinasi, sehingga dapat mengevokasikan kenyataan-kenyataan,
sedangkan kebudayaan memberi isi, sehingga kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat dipahami
secara komprehensif. Makna suatu karya sastra dapat berubah-ubah tergantung pada pembacanya.
Setiap pembaca dapat memberikan penafsiran
yang berbeda-beda. Di sinilah letaknya kekayaan makna suatu karya sastra. Karya sastrapun dikatakan bersifat
terbuka, karena tema, latar, tokoh, plot, dan keseluruhan
penafsiran merupakan sistem yang terbuka, berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pembaca. Setiap
aktivitas pemahaman melahirkan makna yang baru sebab
tidak ada wacana yang pertama maupun terkahir, setiap wacana merayakan kelahirannya (Ratna, 2005 : 145).
“Perempuan Pengambil Hati” merupakan salah satu dari
kumpulan cerpen karya Rina Ratih Sri Sudaryani, terbitan Masyarakat Poetika
Indonesia dan Pustaka Pelajar pada tahun 2011. Diawali dengan pengantar
berjudul “Perempuan Substansial Rina Ratih” oleh Aprinus Salam, kumpulan cerpen
ini terbangun oleh enam cerpen: masing-masing berjudul “Perempuan Bercahaya”,
“Perempuan Kedua”, “Perempuan Pengambil Hati”, “Perempuan Pemuja Ketampanan”,
“Malaikat Penjaga Perempuan”, dan “Perempuan Itu Bernama Evie”.
Pengantar kumpulan cerpen Perempuan Bercahaya ini secara garis besar menyinopsiskan cerita
keenamcerpen. Keenam cerpen bermasalah pada seputar lelaki berstatus suami yang
beristri, berpacar gelap, dan atau berselingkuh. Dalam pemaknaan lebih lanjut,
kumpulan cerpen ini dapat dimaknai dari berbagai pendekatan. Pendekatan yang
penulis pilih untuk memaknai cerpen tersebut adalah kritik sastra feminis
karena lewat tetanda, cerpenis mendominasi cerpen keperempuanan.
B. Pembatasan Masalah
Mengingat kompleksitas
permasalahan yang ada dalam kritik
sastra feminis, maka makalah ini dibatasi pada diskriminasi tokoh utama dan cara tokoh utama mengatasi
permasalah dalam cerpen “Perempuan Pengambil Hati” kumpulan cerpen
Perempuan Bercahaya karya Rina Ratih
.
C. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang dan pembatasan
masalah, dapat dirumuskan masalahnya. Rumusan masalah dalam makalah ini
mengenai bagaimanakah diskriminasi tokoh utama dan cara tokoh utama mengatasi
masalah dalam cerpen “Perempuan Pengambil Hati”, kumpulan cerpen Perempuan Bercahaya karya Rina Ratih .
D.
Tujuan Penelitian
Pembaca dapat mengetahui diskriminasi tokoh
utama dan cara tokoh utama mengatasi masalah dalam cerpen “Perempuan Pengambil
Hati”, kumpulan cerpen Perempuan
Bercahaya karya Rina Ratih .
E. Landasan Teori
Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu genre sastra di
samping puisi dan novel. Dilihat dari segi pertumbuhan (produktivitas) dan
perkembangannya, secara umum karya-karya sastra Indonesia memperlihatkan
fenomena yang sangat luar biasa. Banyak muncul karya-karya yang menawarkan
kemungkinan baru baik dari segi eksplorasi bahasa, penjelajahan tema dan
keberanian bereksperimentasi, serta tumbuhnya sastrawan-sastrawan muda
potensial yang penuh wawasan estetik dan gagasan kreatif. Ditinjau dari
banyaknya gagasan yang ingin disampaikan, cerpen merupakan bentuk yang paling
ringkas karena hanya terdiri dari satu gagasan utama saja. Kalaupun
menceritakan beberapa tahap kehidupan yang dialami sang tokoh, maka hal itu
biasanya dikemukakan secara singkat sebagai latar belakang terjadinya konflik
cerita. Cerpen merupakan susunan kalimat-kalimat yang merupakan cerita yang
mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir. Setiap cerpen mempunyai tema, yaitu
inti cerita atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Ruang lingkupnya
kecil dan ceritanya berpusat pada satu tokoh atau satu masalah (Nurgiyantoro
dalam Enggar, 2007: 17).
Teori
sastra feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan
gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang
banyak memberikan sumbangan
dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai inferioritas
perempuan. Konsep kunci feminis adalah kesetaraan antara
martabat perempuan dan laki-laki. Teori
feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya
memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
John
Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/
kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu
mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses
pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika
masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak
politik dan kesempatan, serta pendidikan yang
sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong dalam Enggar, 1998 : 23).
Teori
feminism menfokuskan diri pada pentingnya
kesadaran mengenai persamaan
hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta
yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas,
konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang
menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi,
serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan
oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba
untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih
jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai
akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2005 : 186).
Betty
Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan : sosial, politik, ekonomi,
dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan
ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peranperan yang digunakan sebagai alasan atau
pembenaran untuk memberikan tempat yang
lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong dalam Enggar, 1998 : 49).
Teori
feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female
yang memperlihatkan aspek perbedaan
biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculinefeminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan
kultural (Ratna, 2005
: 184).
Kaum
feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi,
melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan
menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong dalam Enggar, 1998 :71).
Simon
de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau
Liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe)
yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden dalam Enggar, 1985 : 137).
Masyarakat
patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk
membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin
dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain.
Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa
konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk
menunjukkan identitas dan perilaku gender.
Masyarakat
patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif (penuh kasih
sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan,
ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana,
bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong dalam Enggar, 1998 :72-73).
Sementara
menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi, insitusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan
menegaskan subordinasi perempuan terhadap
laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi
perempuan disebabkan oleh nilai-nilai kutural
dan bukan oleh hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminism berjuang agar nilai-nilai kultural yang
menempatkan perempuan sebagai Liyan, sebagai kelompok
“yang lain”, yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki.
Pembicaraan
perempuan dari segi teori feminis akan
melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis akan
mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya
dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi. Feminisme selain merupakan gerakan
kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi, juga
merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya
yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan, yang
menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi
hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan
psikologis dan budaya.
Teori feminis radikal
berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis,
teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan
sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi
dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini
cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak
perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan
perempuan. (Ratna Megawangi, 1999: 226).
F. Pembahasan
Kumpulan cerpen Perempuan
Bercahaya karya Rina Ratih merupakan pemaknaan dari sebuah ekspresi
pengalaman hidup dunia fiksi para perempuan yang tersakiti karena ketidak
beruntungan mendapatkan cinta utuh pada dirinya.
Cerpen “Perempuan Pengambil Hati” yang diambil dari
kumpulan cerpen Perempuan Bercahaya karya
Rina Ratih menceritakan tentang Mona,
seorang istri yang ditinggalkan suaminya kemudian hendak membalas dendam kepada
Yati yang pada mulanya dihadirkan sebagai tokoh penggoda sehingga suami Mona
berhasrat menikahinya.
Memaknai diskriminasi tokoh utama dan cara tokoh utama mengatasi permasalah
dalam cerpen “Perempuan Pengambil Hati” kumpulan cerpen
Perempuan Bercahaya karya Rina Ratih
dapat dilihat dalam kutipan cerpen.
Diskriminasi
tokoh utama pada kutipan cerpen:
“Sudah sembilan tahun kucari keberadaan perempuan yang telah merebut hati
suamiku ini. Kini, aku harus beracting karena
perempuan itu berdiri satu meter di hadapanku.” .........” Ia segera duduk. Aku
menelan ludah, emosiku mulai naik membayangkan
anak-anakku yang kehilangan ayahnya karena perempuan ini”. (hal. 18)
“Perempuan itu menatapku. Aku membalas menatapnya. Dalam
hati aku berbisik, akulah perempuan yang
telah kau sakiti. Perempuan yang harus banting tulang menghidupi dua anak.”
(hal. 18)
“Tiba-tiba darahku bergolak panas, jantungku berdebar
cepat, tanganku bergetar memegang foto itu. Kulihat Mas Yusuf tersenyum bahagia
dengan istri dan anaknya. Sementara anak-anak
yang kulahirkan disia-siakan.” (hal. 20)
“Engkau tidak tahu Mas, bagaimana Dimas kecil menggigil
sendirian di sudut sekolah, ketika aku telat menjemputnya! Engkau tidak tahu
bagaimana Dini mogok sekolah karena diejek
anak tanpa ayah!”
“Tanganku masih memegang foto keluarga itu. Teringat
Dimas dan Dini di rumah. Dino mogok sekolah karena diejek tanpa ayah! Engkau
tidak tahu ketika Dimas sakit dan mengigau menyebut namamu! Engkau sudah pergi
sembilan tahun! Meninggalkanku dan anak-anak tanpa alasan. Mungkin engkau bosan hidup miskin, tapi kepergianmu justru
membuatku tegar.”hal. 21)
Dapat
dilihat dalam beberapa kutipan di atas, adanya diskriminasi sosial dan ekonomi pada
tokoh utama. Tokoh utama memiliki keinginan membalas dendam karena suaminya telah
direbut oleh wanita lain dan meninggalkan keluarganya selama sembilan tahun,
menelantarkan anak-anaknya dengan tanpa alasan yang diperkirakan atas latar
belakang kemiskinan. Dasar penguatan diskriminasi terdapat dalam potongan
kalimat yang dicetak tebal. Perempuan atau tokoh utama di dalam cerpen ini
dicela oleh masyarakat karena kehilangan suami tanpa sebab. Ia juga mendapatkan
diskriminasi sosial ketika anak-anaknya diejek tanpa ayah. Ia merasa terpukul
akibat diskriminasi ekonomi yang diperkirakan suaminya pergi karena ekonomi keluarga
yang tidak baik.
Cara tokoh
utama dalam mengatasi masalahnya:
“Air mata perempuan itu adalah kesedihan dan ketidak
bahagiaan hidup dengan Mas Yusuf. Kenapa aku ingin merebutnya? Bukankah
perempuan ini juga tidak bahagia dengnnya? Tidak layak memperebutkan laki-laki
seperti Mas Yusuf. Tidak perlu kupertaruhkan nama baik dan jabatan yang aku
miliki sekarang ini dengan perempuan lemah yang sedang menderita. Bodoh jika
aku mengharapkan laki-laki seperti Mas Yusuf kembali jadi suami dan ayah anak-anakku.
Aku yakin, dia tidak akan membuat hidupku lebih bahagia dari sekarang. Lebih
bodoh lagi jika aku mempertaruhkan kemandirian anak-anakku sekarang dengan
laki-laki yang telah meninggalkan mereka sembilan tahun tanpa kabar.” (hal.
23-24)
“ Kami berjabat tangan. “Saya, Mona, istri pertama Mas
Yusuf. Sampaikan salamku, kabarkan Dimas, anak pertama kami, sudah masuk SMA,
dan Dini, adiknya sekarang sudah kelas dua SMP,” aku menarik nafas.” (hal. 24)
“Sampaikan juga pada Mas Yusuf, aku dan anak-anak baik-baik
saja. Biarkan kelak mereka yang akan mencari bapaknya!” (hal. 24)
“aku
berhasil mengucapkan kalimat demi kalimat tanpa menjatuhkan air mata. Rasanya
terlalu mahal air mataku jatuh untuk perempuan perebut hati ini. Rasanya juga
tidak terlalu pantas air mata dijatuhkan untuk mengingat laki-laki yang tidak
setia dan tidak bertanggung jawab.” (hal. 24)
Tokoh utama
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dengan bijaksana dan cukup tegar. Ia
tidak jadi memukul atau meminta suaminya kembali dengan melihat kondisi
keluarganya yang kurang bahagia akubat si suami sakit dan ekonomi keluarga
memburuk. Tokoh utama sekedar mengatakan hal ang sebenarnya terjadi kemudian
pergi untuk kembali pulang. Tokoh utama berpikir bijak ketika masalah itu sudah
menjadi masalalunya dan lebih memilih mempersiapkan masa depan anak-anaknya
tanpa lagi memikirkan lelaki yang sudah menghianati hidupnya.
KESIMPULAN
Diskriminasi atau ketidak adilan yang
menimpa tokoh utama adalah diskriminasi sosial dan ekonomi. bukti diskriminasi
terdapat dalam kutipan cerpen berikut:
Engkau sudah pergi sembilan tahun!
Meninggalkanku dan anak-anak tanpa alasan. Mungkin
engkau bosan hidup miskin, tapi kepergianmu justru membuatku tegar.”hal.
21)
Berikut ini
adalah salah satu diskriminasi ekonomi, sedangkan diskriminasi sosial adalah
ketika orang-orang mencemooh ia tidak punya suami dan anak-anaknya di caci
tidak punya ayah yang semakin menambah rasa sakit hatinya.
Cara
Mona (tokoh utama) mengatasi masalah adalah dengan membuktikan bahwa dirinya sekarang
dapat hidup lebih baik lagi dan mengurungkan niat balas dendamnya karena
kehidupan keluarga suami yang telah menghianatinya lebih buruk dari yang
dibayangkan. Terbukti dalam kutipan cerpen:
“ Air mata perempuan itu adalah kesedihan dan ketidak
bahagiaan hidup dengan Mas Yusuf. Kenapa aku ingin merebutnya? Bukankah
perempuan ini juga tidak bahagia dengnnya? Tidak layak memperebutkan laki-laki
seperti Mas Yusuf. Tidak perlu kupertaruhkan nama baik dan jabatan yang aku
miliki sekarang ini dengan perempuan lemah yang sedang menderita. Bodoh jika
aku mengharapkan laki-laki seperti Mas Yusuf kembali jadi suami dan ayah
anak-anakku. Aku yakin, dia tidak akan membuat hidupku lebih bahagia dari
sekarang. Lebih bodoh lagi jika aku mempertaruhkan kemandirian anak-anakku
sekarang dengan laki-laki yang telah meninggalkan mereka sembilan tahun tanpa
kabar.” (hal. 23-24)
Daftar Pustaka
Fitriannie, Enggar. 2009. Konflik Batin Tokoh Utama
dalam Cerpen Sri Sumarah Karya Umar Kayam: Tinjauan Psikologi Sastra.
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Megawangi, Ratna
(1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Bandung:
Mizan. Cet. I.
Ratih, Rina.
2011. Perempuan Bercahaya.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia dan Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman
Khuta. 2005. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene
& Austin Warren. 1990. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar